Saturday, February 27, 2016

Ketika Spekulan Meraja

Di Akhir Februari 2016
Ketika saya menulis ini, rupiah masih belum stabil. Bukan hanya rupiah tapi juga mata uang ASEAN, karena pengaruh US FED rate yang mulai menanjak.
Sudah ditunggu-tunggu sejak 2 tahun lalu, menurut pengamat pengaruh kenaikan FED rate jadi kurang berpengaruh untuk ekonomi Indonesia. Benarkah?
Melihat IHSG yang masih bergerak sideways, memperlihatkan bahwa tidak stabilnya harga bahan baku impor masih membayangi "earning power" dari perusahaan. Anehnya, beberapa sektor menunjukkan kenaikan, diantaranya Consumer Goods dan Manufacture. Loh?

Consumer Goods
Dari 37 saham Consumer Goods, ternyata hanya 6 yang memperlihatkan kenaikan harga. GGRM, HMSP, ICBP, INAF, INDF, dan UNVR. Indofood, Gudang Garam, Unilever.

"Bubble", istilah tepat yang menjelaskan kenapa saham ini bisa naik. Nama besar? Mungkin. Tapi secara fundamental, tidak ada yang bisa memback-up kenaikannya. Hanya sentimen pasar. Yang sayangnya, salah kaprah.

Indofood - ICBP
Menilik fundamental Indofood di atas, Bisa dilihat Price per Book Value sangat tinggi (6 kali lipat).
Dengan arti, apabila terjadi default (bangkrut dsb), uang yang bisa dikembalikan kepada pemilik adalah 1/6 dari harga saham. Bagaimana dengan Earning power: Hanya 2.77%. Tahun 2015 jelas menunjukkan kenaikan Earning Per Share (EPS) , namun bukan diakibatkan kenaikan produksi, tapi lebih karena penurunan harga saham.
Dengan penjelasan umum: Anda membayar terlalu mahal untuk saham ini, padahal kemampuan produksinya tidak tumbuh.

Investasi di saham seperti ini ibaratnya seperti arisan berantai. Investor harus tetap siaga. Ketika kepopulerannya menurun, orang akan berbondong-bondong berusaha keluar dan mengakibatkan harganya turun drastis.



No comments:

Post a Comment